Hari
ini hari Minggu. Aku ada janjian sama seorang teman. Namanya Andre. Andre
Manasuka. Kami berjanji untuk membesuk seseorang ke Lembaga Pemasyarakatan. Ia
sama-sama teman kami berdua. Ia dipenjara karena kasus kekerasan dalam rumah
tangga KDRT. Ia memang temperamental. Beberapa bulan yang lalu ia menghajar
istrinya yang tengah hamil empat bulan. Ditendanginya istrinya. Dipukul, dan
dijambakinya rambutnya.
Istrinya,
sebetulnya masih bisa bersabar. Ia hanya menangis lirih, sesenggukan. Namun, ketika
itu tiba-tiba kedua orang tuanya muncul di rumahnya. Kedua orang tua itu betapa
kagetnya mendapati putrinya menerima kekerasan dari suaminya, menantunya.
Dengan sigap sang ayah mengambil telepon genggam berkamera
seraya mengabadikan momen-momen peristiwa kekerasan itu. Dengan berbekal barang
bukti itulah bapak ini melaporkan kasus yang menimpa putrinya tersebut kepada
Polisi.
Pagi ini aku hidupkan sepeda motor butut
kesayanganku. Kupacu perlahan menuju rumah Andre. Sesampainya di rumah Andre ternyata
ia sudah menungguku di jok belakang kemudi mobilnya yang super keren.
Setidaknya bila diukur dengan keadaanku yang kemana-mana selalu hanya ditemani
si butut ini. Andre memang tipe generasi milenial yang suka mengoleksi
barang-barang mewah.
Aku berfikir.
Mungkin ia ‘balas dendam’. Sekali lagi hanya mungkin. Aku hanya berprasangka
saja. Sebab, Andre pernah bercerita kepadaku. Ia berasal dari keluarga yang
berkekurangan. Berkesusahan. Namun karena kegigihan dan ketekunannya ia
berhasil meraih sukses. Kehidupannya pun seakan berputar 180 derajat. Sejak
saat itulah ia mulai menyukai barang-barang bagus dan mahal seolah untuk
menghapus dan menutupi masa lalunya.
Ketika masa-masa sulit.
“Ayo segera naik. Keburu siang donk”,
suara Andre memecah kekagumanku yang tengah memandangi sudut-sudut kemewahan di
rumah itu.
“Iya...iya.., sabar donk boss”, sahutku seraya aku parkirkan motorku berjajar
dengan sebuah Alphard keluaran terbaru. Sangat kontras. Namun, kami berdua
tidaklah demikian. Andre adalah teman yang baik. Suka membantu dan jauh dari
kesan sombong. Ia sering bercerita tentang masa lalunya. Ia sadar betul akan
asal usulnya. Ia tidak membeda-bedakan terhadap semua teman-temannya. Ia tipe
orang yang mudah bergaul. Termasuk di lingkungan masyarakatpun ia tak pernah
menjaga jarak terhadap sesama warga masyarakat.
Di dalam mobil kami berdua lebih
banyak diam. Bukan apa-apa. Hanya rasa keprihatinan saja yang menggelayut di
pikiran kami masing-masing. Aku tak pernah sekalipun mencubit istriku karena
kemarahan. Karena pertengkaran, percekcokan dan selisih paham. Sekalipun tak
pernah. Apalagi sampai memukulinya. Tiba-tiba anganku merayap-rayap pulang. Kuciumi
istriku yang lagi tertidur di sofa biru ruang tamu. Aku tak tahu apa yang dipikirkan
Andre. Aku tak menyapanya. Ia lagi berkonsentrasi mengendalikan kemudi
mobilnya. Jalanan pagi ini lagi padat merayap.
“Dengar-dengar istri Mas Danu masuk rumah sakit
ya?”, tiba-tiba Andre menyapaku.
“Ya.., semalam. Katanya pendarahan”,
aku memang belum yakin benar. Masih sebatas informasi yang belum terkonfirmasi.
“Jangan-jangan mau melahirkan”, lanjut
Andre.
“Ah.., aku pikir belum. Katanya baru
tujuh bulan”, jawabku seraya memandangi
warna merah traffic light yang
sepertinya tak mau berubah.
Sesampai di LP kami diterima
petugas dan diantar ke ruang kunjungan. Kami duduk berdampingan menunggu di
ruang itu. Sementara petugas yang
lainnya memanggilkan terpidana. Dengan uniform biru-biru Mas Danu Sasongko
mendekati kami.
“Terima kasih kawan”, ia menyapa kami duluan, sambil menjulurkan
tangannya untuk bersalaman.
“Sama-sama”, jawab kami hampir
bersamaan.
Bertiga kami mengobrol panjang lebar.
Mulai dari jatah ransumnya, hubungan sesama napi sampai kegiatan-kegiatan
harian yang mesti dijalaninya.
Termasuk kegiatan kerohanian yang sering diselenggarakan oleh banyak lembaga
pemasyarakatan. Kegiatan kerohanian ini sangat penting karena dipandang sebagai
salah satu jalan pemulihan ‘kejiwaan’ dari warga binaan. Dari obrolan itu aku membaca, Danu tampak ‘tegar’ bahkan cenderung keras. Sepertinya
tak ada rasa sesal sedikitpun tentang apa yang telah ia lakukan terhadap
istrinya. Kami berdua tidak jadi bertanya apakah ia sudah mendapat informasi
bahwa istrinya semalam masuk rumah sakit. Kami juga tidak akan memberi tahu
tentang hal itu. Biarlah waktu yang memberitahukannya.
Waktu telah menunjukan pukul 13.00
siang. Waktu kunjungan telah berakhir. Kami berdua berpamitan. Sekali lagi ia
tampak ‘tegar’ saat kami bersalaman.
“Terima kasih banget, kawan-kawan,
telah berkenan membesukku”.
“Sama-sama.” jawab Andre.
“Kami
hanya ingin memastikan kau sehat dan tabah menghadapi semua ini. Semoga hari
esok lebih baik”, tambahku untuk
membesarkan hatinya.
Sambil melambaikan tangannya, Danu
berpesan, “Hati-hati, kawan”.
Keluar dari ruang kunjungan kami
mampir di kantin penjara untuk sekedar mengisi perut yang terasa mulai
bernyanyi perih. Aku memesan soto daging sapi dan nasi putih, minumnya sup
buah. Tampaknya, Andre juga sama. Begitulah.
Andre selalu berusaha menjaga kebersamaan. Hampir di setiap situasi. Hal itulah
yang membuat aku menyukainya.
Di sela-sela kami menikmati
hangatnya soto dan dinginnya sup buah,
Andre bercerita. Andre memang gemar bercerita. Dan alurnya pun terdengar begitu
rapi. Terutama tentang masa lalunya.
Sepertinya ia tak ingin memasang tirai bagi perjalanan hidupnya. Kali ini Andre
bercerita tentang ayahnya
yang merupakah sosok pejuang tangguh dalam berbagai keterbatasan. Seperti biasa
aku mesti jadi pendengar setia ketika ia mulai ngelantur bercerita.
“Ketika
itu Aku masih SMA. Pada suatu
saat, di hari minggu, sehabis menyelesaikan tugas-tugasku membantu di kebun, aku dipanggil ayah. Ayahku pun bercerita kepadaku - Andre...,
dengar baik-baik cerita ini agar jadi pelajaran bagimu. Agar kamu tidak lagi
seperti bapakmu dan tidak pula seperti kakekmu. Pedih perih cukup buat bapak dan kakekmu –
begitulah pesan Ayahku kepadaku.” Demikian Andre mulai bercerita.
“Aku
sangat menghayati kata demi kata yang terucap dari belahan
bibir bapakku.
Aku berusaha untuk
mengikat erat kata-kata itu dan menyimpannya di relung dada ini” lanjutnya.
“Bapak dulu jadi tulang punggung keluarganya. Semenjak nenek meninggal dunia, kakekku
tidak menikah lagi. Ia ikhlas menyandang sebutan duda. Akhirnya bapakku lah yang mengambil peran
sebagai ibu rumah tangga. Maklum ia
anak sulung. Ia memasak. Ia menyuapi adik-adiknya. Ya.. paman dan bibiku…, Lik Parno dan Lik Minah itu. Bapakku
membantu kakek mencari nafkah. Kakekku
hanya seorang buruh serabutan. Kadang membantu panen Pak Lurah. Kadang-kadang juga
menjual kayu bakar ke kota. Sekali-kali bapakku membantu
mengumpulkan kayu bakar itu
untuk meringgankan pekerjaan kakekku”.
“Suatu saat kakekku jatuh sakit yang
menaun, akibat kecanduan rokok. Praktis,
kakek tidak dapat bekerja
dengan baik. Akhirnya, bapakkulah
yang harus mengambil alih semua pekerjaan kakekku.”
“Mulai saat itu, bapakku mesti jadi tulang punggung keluarga. Menjual kayu
bakar, untuk menghidupi kakek. Menghidupi paman dan bibiku yang ketika itu
masih anak-anak. Katanya.., seusia PAUD kalau jaman sekarang.., atau lebih muda
sedikit”.
“Entah setan mana yang membujuki bapakku. Ketika itu bapak kehabisan kayu. Batang-batang kayu di kebun
tinggal yang kecil-kecil belum layak dijadikan kayu bakar. Akhirnya langkah-langkah kecilnya terseret ke sebuah kawasan hutan milik negara.
Keluarga bapakku
memang tinggal di pinggiran hutan yang banyak
ditumbuhi aneka pohon. Ada pohon jati, ada pohon mahoni, akasia dan
aneka jenis pohon pinus”.
Andre sejenak berhenti
bercerita. Ia menghela nafas panjang dan
dalam seraya memandangi
langit-langit luas. Kemudian
tertunduk untuk mengingat-ingat dan menyusun rangkaian cerita selanjutnya.
“Waktu itu,
katanya, bulan purnama sudah tergelincir ke
barat. Seingatnya
sekira jam satu atau dua tengah malam. Bapakku
mencoba menggergaji dengan pelan satu batang pohon
jati. Tidak terlalu besar. Kemudian ia
potong-potong menjadi tiga bagian dan ia panggul ke rumah
satu-satu. Daun dan ranting-ranting kecil yang tidak bisa digunakan ia hanyutkan di kali yang
membelah hutan itu, untuk
menghilangkan jejak”. Andre mulai menunjukkan perasaan sedihnya. Ia
menerawang menelusuri ruang-ruang
waktu betapa berat perjuangan bapaknya dimasa muda dulu. Andre kemudian melanjutkan
ceritanya.
“Pekerjaan itu dijalani bapakku sampai tiga kali dalam kurun waktu hampir satu
tahun. Agaknya Polisi Hutan telah mengendus ‘pekerjaan’ itu. Hingga akhirnya
pada suatu malam bapakku
ditangkap dengan sangkaan telah mencuri kayu negara. Ketika itu malam Hari Raya
Idul Fitri. Kakekku
terkejut dan sangat terpukul melihat bapakku dibawa Polisi. Beberapa hari kemudian takdir berlaku. Ajal menjemput
kakekku. Akhirnya ayahku dihukum selama 21 hari tanpa
peradilan”. Demikian Andre
mengakhiri ceritanya.
“Itulah cerita kecil kehidupan ayahku di saat
muda. Ia dipenjara tanpa proses peradilan. Dari penuturannya, potongan-potongan kayu
yang masih kuat dipanggul oleh ayahku
muda, aku membayangkan betapa kecilnya kayu yang bapak curi. Lagi pula bapak
mencuri karena tuntutan isi perut. Sekedar hanya untuk menghambat agar
usus-usus keluarganya tidak lengket”.
“Bapakmu tidak didampingi penasehat
hukum” aku menyela bertanya.
“Apa katamu. Penasehat hukum....?
Mana ada penesehat hukum di pinggir hutan. Penasehat hukum itu di kota....,
banyak duit. Kalau di pinggir hutan ada apanya. Paling cuma seresah dan
ranting-ranting gapuk
yang tak berarti bagi mereka”. Celotehnya meyakinkan seolah memberi hipotesa.
Aku terdiam. Anganku melayang. Mengembara ke
ruang langit yang tak bertepi. Menghukum tanpa peradilan. Membela karena uang.
Menjual keadilan. Menghukum yang benar. Membebaskan yang salah. Dan sebagainya
seakan telah menjadi hal lumrah dalam kehidupan jaman sekarang.
Kemudian Andre menambahkan. “Bapakku juga
menceritakan bahwa pada masa itu, teman-teman senasibnya di penjara merupakan
orang-orang miskin, orang-orang yang lapar. Orang-orang yang bodoh. Orang-orang
yang buta hukum. Mereka terpaksa mencuri karena tuntutan pangan. Tuntutan
menyambung hidup. Tuntutan menyelamatkan generasi dan keturunan”.
Aku hanya mengangguk-angguk. Aku
memahami keluh kesah Andre. Sepertinya ia tengah menggugat ketidakadilan. Setidaknya…, ketidakadilan yang pernah menimpa
keluarganya. Bapaknya.
“Sekarang…, penjara, tak lagi dihuni oleh mereka yang papa dan lapar. Para pencuri kampung. Para pencuri ayam. Penjara
di masa kini banyak dihuni oleh
orang-orang kaya. Para priyayi.
Para amtenar.
Para punggawa.
Yang kuasa dan kenyang”. Begitu, Andre melanjutkan.
Merinding…,
sungguh teramat merinding. Hampir seluruh bulu di tubuhku terasa berdiri. Mendengar
apa yang barusan Andre katakan, aku tak kuasa untuk berkata-kata, sepertinya
kelu di lidahku. Benar…, penjara saat ini dihuni oleh orang-orang
yang bergelimang harta. Orang-orang berpendidikan
tinggi. Orang-orang yang
mengerti hukum. Atau bahkan orang-orang yang mestinya menjaga marwah hukum.
Dengan kekayaannya, mereka bisa membeli pengawal
penjara. Mereka juga bisa membeli
kemewahan di rumah
hukuman itu. Penjara.., bagi mereka bukanlah
tempat yang menakutkan. Bukanlah tempat yang pengap. Dan, penjara bukanlah
sebuah hotel prodeo. Bagi mereka, penjara adalah hotel berbintang. Penuh fasilitas
super dan berlebih. Ada Air Coditioner. Ada televisi, parabola, springbed
berkelas wahid. Dan.., ada shower di kamar mandi. Bila mereka merasa jenuh, mereka
bisa travelling kemanapun mereka mau.
Bisa ke Bali. Ke Singapura.
Bahkan ke Maladewa sekalipun.
“Mereka sangat baik kepada para pihak. Kepada para sipir. Kepada para pengawal. Hingga
mereka pun.., berulang kali memperoleh remisi hukuman. Mereka pun
bebas”, sejenak Andre terdiam. Sepertinya, angannya jauh melayang ke masa silam.
“Kenapa? Kau cemburu dengan ‘pembebasan’
itu?” tanyaku.
“Ya tidaklah! Aku tak peduli dengan pembebasan
itu”, mimiknya terlihat cuek.
kemudian, “Cuma aku
prihatin saja. Sepertinya antara langit dan bumi.., bila aku bandingkan dengan bapakku
dulu ketika dipenjara”.
“Kenapa bapakmu?” tanyaku tak paham.
“Bapakku dan kawan-kawannya punya
pekerjaan rutin setiap pagi. Mereka harus membersihkan kamar mandi, WC,
mengepel lantai kantor penjara. Bahkan tak jarang harus mengurusi dan
menyelesaikan kebersihan rumah dinas pejabat-pejabat LP,” terlihat Andre sedikit menggerutu.
“Ya.... karena tak mampu membeli para
sipir”, lanjutnya seraya mencibirkan mulutnya.