Senin, 23 Juli 2018

PENJARA, DAHULU DAN SEKARANG



           Hari ini hari Minggu. Aku ada janjian sama seorang teman. Namanya Andre. Andre Manasuka. Kami berjanji untuk membesuk seseorang ke Lembaga Pemasyarakatan. Ia sama-sama teman kami berdua. Ia dipenjara karena kasus kekerasan dalam rumah tangga KDRT. Ia memang temperamental. Beberapa bulan yang lalu ia menghajar istrinya yang tengah hamil empat bulan. Ditendanginya istrinya. Dipukul, dan dijambakinya rambutnya. 
          Istrinya, sebetulnya masih bisa bersabar. Ia hanya menangis lirih, sesenggukan. Namun, ketika itu tiba-tiba kedua orang tuanya muncul di rumahnya. Kedua orang tua itu betapa kagetnya mendapati putrinya menerima kekerasan dari suaminya, menantunya. Dengan sigap sang ayah mengambil telepon genggam berkamera seraya mengabadikan momen-momen peristiwa kekerasan itu. Dengan berbekal barang bukti itulah bapak ini melaporkan kasus yang menimpa putrinya tersebut kepada Polisi.
            Pagi ini aku hidupkan sepeda motor butut kesayanganku. Kupacu perlahan menuju rumah Andre. Sesampainya di rumah Andre ternyata ia sudah menungguku di jok belakang kemudi mobilnya yang super keren. Setidaknya bila diukur dengan keadaanku yang kemana-mana selalu hanya ditemani si butut ini. Andre memang tipe generasi milenial yang suka mengoleksi barang-barang mewah.
              Aku berfikir. Mungkin ia ‘balas dendam’. Sekali lagi hanya mungkin. Aku hanya berprasangka saja. Sebab, Andre pernah bercerita kepadaku. Ia berasal dari keluarga yang berkekurangan. Berkesusahan. Namun karena kegigihan dan ketekunannya ia berhasil meraih sukses. Kehidupannya pun seakan berputar 180 derajat. Sejak saat itulah ia mulai menyukai barang-barang bagus dan mahal seolah untuk menghapus dan  menutupi masa lalunya. Ketika masa-masa sulit.
          “Ayo segera naik. Keburu siang donk”, suara Andre memecah kekagumanku yang tengah memandangi sudut-sudut kemewahan di rumah itu.
          “Iya...iya.., sabar donk boss”,  sahutku seraya aku parkirkan motorku berjajar dengan sebuah Alphard keluaran terbaru. Sangat kontras. Namun, kami berdua tidaklah demikian. Andre adalah teman yang baik. Suka membantu dan jauh dari kesan sombong. Ia sering bercerita tentang masa lalunya. Ia sadar betul akan asal usulnya. Ia tidak membeda-bedakan terhadap semua teman-temannya. Ia tipe orang yang mudah bergaul. Termasuk di lingkungan masyarakatpun ia tak pernah menjaga jarak terhadap sesama warga masyarakat.
           Di dalam mobil kami berdua lebih banyak diam. Bukan apa-apa. Hanya rasa keprihatinan saja yang menggelayut di pikiran kami masing-masing. Aku tak pernah sekalipun mencubit istriku karena kemarahan. Karena pertengkaran, percekcokan dan selisih paham. Sekalipun tak pernah. Apalagi sampai memukulinya. Tiba-tiba anganku merayap-rayap pulang. Kuciumi istriku yang lagi tertidur di sofa biru ruang tamu. Aku tak tahu apa yang dipikirkan Andre. Aku tak menyapanya. Ia lagi berkonsentrasi mengendalikan kemudi mobilnya. Jalanan pagi ini lagi padat merayap.
         “Dengar-dengar istri Mas Danu masuk rumah sakit ya?”, tiba-tiba Andre menyapaku.
         “Ya.., semalam. Katanya pendarahan”, aku memang belum yakin benar. Masih sebatas informasi yang belum terkonfirmasi.
         “Jangan-jangan mau melahirkan”, lanjut Andre.
         “Ah.., aku pikir belum. Katanya baru tujuh bulan”,  jawabku seraya memandangi warna merah traffic light yang sepertinya tak mau berubah.
            Sesampai di LP kami diterima petugas dan diantar ke ruang kunjungan. Kami duduk berdampingan menunggu di ruang itu.  Sementara petugas yang lainnya memanggilkan terpidana. Dengan uniform biru-biru Mas Danu Sasongko mendekati kami.
          “Terima kasih kawan”, ia  menyapa kami duluan, sambil menjulurkan tangannya untuk bersalaman.
        “Sama-sama”, jawab kami hampir bersamaan.
          Bertiga kami mengobrol panjang lebar. Mulai dari jatah ransumnya, hubungan sesama napi sampai kegiatan-kegiatan harian yang mesti dijalaninya. Termasuk kegiatan kerohanian yang sering diselenggarakan oleh banyak lembaga pemasyarakatan. Kegiatan kerohanian ini sangat penting karena dipandang sebagai salah satu jalan pemulihan ‘kejiwaan’ dari warga binaan. Dari obrolan itu aku membaca, Danu tampak ‘tegar’ bahkan cenderung keras. Sepertinya tak ada rasa sesal sedikitpun tentang apa yang telah ia lakukan terhadap istrinya. Kami berdua tidak jadi bertanya apakah ia sudah mendapat informasi bahwa istrinya semalam masuk rumah sakit. Kami juga tidak akan memberi tahu tentang hal itu. Biarlah waktu yang memberitahukannya.
             Waktu telah menunjukan pukul 13.00 siang. Waktu kunjungan telah berakhir. Kami berdua berpamitan. Sekali lagi ia tampak ‘tegar’ saat kami bersalaman.
             “Terima kasih banget, kawan-kawan, telah berkenan membesukku”.
             “Sama-sama.” jawab Andre.
              Kami hanya ingin memastikan kau sehat dan tabah menghadapi semua ini. Semoga hari esok lebih baik”, tambahku untuk membesarkan hatinya.
              Sambil melambaikan tangannya, Danu berpesan,  “Hati-hati, kawan”.
             Keluar dari ruang kunjungan kami mampir di kantin penjara untuk sekedar mengisi perut yang terasa mulai bernyanyi perih. Aku memesan soto daging sapi dan nasi putih, minumnya sup buah. Tampaknya, Andre juga sama. Begitulah. Andre selalu berusaha menjaga kebersamaan. Hampir di setiap situasi. Hal itulah yang membuat aku menyukainya.
             Di sela-sela kami menikmati hangatnya soto dan dinginnya sup buah, Andre bercerita. Andre memang gemar bercerita. Dan alurnya pun terdengar begitu rapi.  Terutama tentang masa lalunya. Sepertinya ia tak ingin memasang tirai bagi perjalanan hidupnya. Kali ini Andre bercerita tentang ayahnya yang merupakah sosok pejuang tangguh dalam berbagai keterbatasan. Seperti biasa aku mesti jadi pendengar setia ketika ia mulai ngelantur bercerita.
               Ketika itu Aku masih SMA. Pada suatu saat, di hari minggu, sehabis  menyelesaikan tugas-tugasku membantu di kebun, aku dipanggil ayah. Ayahku pun bercerita kepadaku  - Andre..., dengar baik-baik cerita ini agar jadi pelajaran bagimu. Agar kamu tidak lagi seperti bapakmu dan tidak pula seperti kakekmu. Pedih perih cukup buat bapak dan kakekmu begitulah pesan Ayahku kepadaku.” Demikian Andre mulai bercerita.
                “Aku sangat menghayati kata demi kata yang terucap dari belahan bibir bapakku. Aku berusaha untuk mengikat erat kata-kata itu dan menyimpannya di relung dada ini” lanjutnya.
               Bapak dulu jadi tulang punggung keluarganya. Semenjak nenek meninggal dunia, kakekku tidak menikah lagi. Ia ikhlas menyandang sebutan duda. Akhirnya bapakku lah yang mengambil peran sebagai ibu rumah tangga. Maklum ia anak sulung. Ia memasak. Ia menyuapi adik-adiknya. Ya.. paman dan bibiku…, Lik Parno dan Lik Minah itu. Bapakku membantu kakek mencari nafkah. Kakekku hanya seorang buruh serabutan. Kadang membantu panen Pak Lurah. Kadang-kadang juga menjual kayu bakar ke kota. Sekali-kali bapakku membantu mengumpulkan kayu bakar itu untuk meringgankan pekerjaan kakekku”.
               “Suatu saat kakekku jatuh sakit yang menaun, akibat kecanduan rokok. Praktis, kakek tidak dapat bekerja dengan baik. Akhirnya, bapakkulah yang harus mengambil alih semua pekerjaan kakekku.
                Mulai saat itu, bapakku mesti jadi tulang punggung keluarga. Menjual kayu bakar, untuk menghidupi kakek. Menghidupi paman dan bibiku yang ketika itu masih anak-anak. Katanya.., seusia PAUD kalau jaman sekarang.., atau lebih muda sedikit”.
             “Entah setan mana yang membujuki bapakku. Ketika itu bapak kehabisan kayu. Batang-batang kayu di kebun tinggal yang kecil-kecil belum layak dijadikan kayu bakar. Akhirnya langkah-langkah kecilnya terseret ke sebuah kawasan hutan milik negara. Keluarga bapakku memang tinggal di pinggiran hutan yang banyak  ditumbuhi aneka pohon. Ada pohon jati, ada pohon mahoni, akasia dan aneka jenis pohon pinus”. 
             Andre sejenak berhenti bercerita. Ia menghela nafas panjang dan dalam seraya memandangi langit-langit luas. Kemudian tertunduk untuk mengingat-ingat dan menyusun rangkaian cerita  selanjutnya.
            “Waktu itu, katanya, bulan purnama sudah tergelincir ke barat. Seingatnya sekira jam satu atau dua tengah malam. Bapakku mencoba menggergaji dengan pelan satu batang pohon jati. Tidak terlalu besar. Kemudian ia potong-potong menjadi tiga bagian dan ia panggul ke rumah satu-satu. Daun dan ranting-ranting kecil yang tidak bisa digunakan ia hanyutkan di kali yang membelah hutan itu, untuk menghilangkan jejak”. Andre mulai menunjukkan perasaan sedihnya. Ia menerawang menelusuri ruang-ruang waktu betapa berat perjuangan  bapaknya dimasa muda dulu. Andre kemudian melanjutkan ceritanya.
            “Pekerjaan itu dijalani bapakku  sampai tiga kali dalam kurun waktu hampir satu tahun. Agaknya Polisi Hutan telah mengendus ‘pekerjaan’ itu. Hingga akhirnya pada suatu malam bapakku ditangkap dengan sangkaan telah mencuri kayu negara. Ketika itu malam Hari Raya Idul Fitri. Kakekku terkejut dan sangat terpukul melihat bapakku dibawa Polisi. Beberapa hari kemudian takdir berlaku. Ajal menjemput kakekku. Akhirnya ayahku dihukum selama 21 hari tanpa peradilan”. Demikian Andre mengakhiri ceritanya.
           “Itulah cerita kecil kehidupan ayahku di saat muda. Ia dipenjara tanpa proses peradilan. Dari penuturannya, potongan-potongan kayu yang masih kuat dipanggul oleh ayahku muda, aku membayangkan betapa kecilnya kayu yang bapak curi. Lagi pula bapak mencuri karena tuntutan isi perut. Sekedar hanya untuk menghambat agar usus-usus keluarganya tidak lengket”.
            “Bapakmu tidak didampingi penasehat hukum” aku menyela bertanya.
            “Apa katamu. Penasehat hukum....? Mana ada penesehat hukum di pinggir hutan. Penasehat hukum itu di kota...., banyak duit. Kalau di pinggir hutan ada apanya. Paling cuma seresah dan ranting-ranting gapuk yang tak berarti bagi mereka”. Celotehnya meyakinkan seolah memberi hipotesa.
              Aku terdiam. Anganku melayang. Mengembara ke ruang langit yang tak bertepi. Menghukum tanpa peradilan. Membela karena uang. Menjual keadilan. Menghukum yang benar. Membebaskan yang salah. Dan sebagainya seakan telah menjadi hal lumrah dalam kehidupan jaman sekarang.
             Kemudian Andre menambahkan. “Bapakku juga menceritakan bahwa pada masa itu, teman-teman senasibnya di penjara merupakan orang-orang miskin, orang-orang yang lapar. Orang-orang yang bodoh. Orang-orang yang buta hukum. Mereka terpaksa mencuri karena tuntutan pangan. Tuntutan menyambung hidup. Tuntutan menyelamatkan generasi dan keturunan”.
            Aku hanya mengangguk-angguk. Aku memahami keluh kesah Andre. Sepertinya ia tengah menggugat ketidakadilan. Setidaknya…, ketidakadilan yang pernah menimpa keluarganya. Bapaknya.
             Sekarang, penjara,  tak lagi dihuni oleh mereka yang papa dan lapar. Para pencuri kampung. Para pencuri ayam. Penjara di masa kini banyak dihuni oleh orang-orang kaya. Para priyayi. Para amtenar. Para punggawa. Yang kuasa dan kenyang”. Begitu, Andre melanjutkan.
               Merinding…, sungguh teramat merinding. Hampir seluruh bulu di tubuhku terasa berdiri. Mendengar apa yang barusan Andre katakan, aku tak kuasa untuk berkata-kata, sepertinya kelu di lidahku. Benar…, penjara saat ini dihuni oleh orang-orang yang bergelimang harta. Orang-orang berpendidikan tinggi. Orang-orang yang mengerti hukum. Atau bahkan orang-orang yang mestinya menjaga marwah hukum.
              Dengan kekayaannya, mereka bisa membeli pengawal penjara. Mereka juga bisa membeli kemewahan di rumah hukuman itu. Penjara.., bagi mereka bukanlah tempat yang menakutkan. Bukanlah tempat yang pengap. Dan, penjara bukanlah sebuah hotel prodeo. Bagi mereka,  penjara adalah hotel berbintang. Penuh fasilitas super dan berlebih. Ada Air Coditioner. Ada televisi, parabola, springbed berkelas wahid. Dan.., ada shower di kamar mandi. Bila mereka merasa jenuh, mereka bisa travelling kemanapun mereka mau. Bisa ke Bali. Ke Singapura. Bahkan ke Maladewa sekalipun.
             “Mereka sangat baik kepada para pihak. Kepada para sipir. Kepada para pengawal.   Hingga mereka pun.., berulang kali memperoleh remisi hukuman. Mereka pun bebas”, sejenak Andre terdiam. Sepertinya, angannya jauh melayang ke masa silam.
            “Kenapa? Kau cemburu dengan ‘pembebasan’ itu? tanyaku.
           “Ya tidaklah! Aku tak peduli dengan pembebasan itu”, mimiknya terlihat cuek. kemudian, “Cuma aku prihatin saja. Sepertinya antara langit dan bumi.., bila aku bandingkan dengan bapakku dulu ketika dipenjara”.
           “Kenapa bapakmu?” tanyaku tak paham.
           “Bapakku dan kawan-kawannya punya pekerjaan rutin setiap pagi. Mereka harus membersihkan kamar mandi, WC, mengepel lantai kantor penjara. Bahkan tak jarang harus mengurusi dan menyelesaikan kebersihan rumah dinas pejabat-pejabat LP,” terlihat Andre sedikit menggerutu.
           “Ya.... karena tak mampu membeli para sipir”, lanjutnya seraya mencibirkan mulutnya.
           Tak terasa hari hampir petang. Kami pun bergegas meninggalkan kantin penjara itu. Jalanan sudah lengang. Tinggal beberapa bus pariwisata yang masih berseliweran meninggalkan Pantai Ketawang, Purworejo, Jawa Tengah. (By Kangka Die)

Rabu, 04 April 2018

CINTA DI SELEMBAR CADAR DAN SUARA ADZAN


      Pagi ini. Perpustakaan kampus masih terlihat sepi. Ujian tengah semester baru saja usai. Mungkin sebagian  mahasiswa memilih pulang kampung. Atau sebagian yang lain lagi menjalani relaksasi dan terapi otak. Setelah sekian lama dililit berjuta-juta hukum aksioma dan matematika.
    Sementara itu, aku dan Sumi, memang berencana tidak mudik sedari awal ujian lalu. Kami memilih tetap setia di meja perpustakaan ini. Untuk sekedar mereview dan menghibur diri. Setelah beberapa hari kepala berdenyut-denyut. Diperas-peras. Dan diremas-remas berbagai rumus integral matematik yang kadang menjemukan.
     Seperti biasanya. Aku dan Sumi selalu memilih meja ini. Sejak awal ia menundukkan hatiku. Meja ini sepertinya telah menjadi saksi bisu. Cintaku kepada Sumi Sustiwi. Bidadari kecil berkerudung merah jambu. Bidadari dari lereng Gunung Sumbing.
     Dari lubang jendela perpustakan. Jauh di luar sana. Gunung Merapi tampak perkasa mengibas-ngibaskan asap putih mengkilap berlatar biru langit. Tampak anggun. Damai. Sepertinya sangat santun. Semoga ia tak akan marah seperti kemarin-kemarin. Walau galau melihat tingkah polah anak cucu Adam. Tingkah polah yang kian meracau. Di segala ruang hidup.
      “Kak…!” Tiba-tiba kudengar suara Sumi lirih, memanggilku.
      “Iya…,” Jawabku pendek.
     “Kak…..!”  Kudengar Sumi mengulangi kata itu lagi. Kali ini aku pandangi wajahnya yang kian meneduh. Ia juga memandangiku. Aku melihat ada yang tersembunyi di balik pandangannya itu.
    “Iya.. ya…, kenapa?” Sepertinya Sumi ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting kepadaku.
         “Kak Bharoto suka.., kalau ada yang berubah pada diri Sumi?”
     Sejenak aku diam. Aku tak paham apa yang dimaksud Sumi. Sepertinya ia menyimpan kegalauan. Ada yang mengiris-iris jiwanya. Ada yang menyayat-nyayat di perasaannya. Aku tak ingin ia terjebak di dalamnya.  Aku coba mencari tahu. Aku ingin membantu memecahkannya. Aku ingin membantu menguatkan hatinya. Bidadari kecilku.
       Kemudian, ia melanjutkan, “Sumi ingin melepas hijab ini.. Kak!”
     Terkejut aku mendengarnya. Tak pernah sedikitpun aku berprasangka Sumi akan melakukan hal itu. Melepas hijabnya. Selama ini. Sejak aku dekat dengan hatinya. Ia adalah seorang gadis, bidadari kecil, yang sangat teguh memegang prinsip. Aku harus menjaganya. Aku harus mengendapkan kegalauannya.
      “Kenapa…, Sumi?” Seraya aku tatap tajam wajahnya. Kali ini ia menunduk.
   “Ada yang memandang buruk cadarku.. Kak,” jawabnya, sedikit mengeluh. “Ada juga yang mencibirkannya,” lanjutnya.
      “Maksudmu.., siapa?” tanyaku heran.
      “Ya.., banyak.. diluar sana”.
      “Itu cupa perasaannmu…, Sumi.”
     “Tapi…, saat ini, banyak orang  yang melepas hijabnya.”
   Demikian Sumi menjelaskan. Seraya memberikan beberapa contoh figur-figur  yang ramai dibicarakan di banyak media. Termasuk di media sosial.  Dengan berbagai alasan dan latar belakang hingga mereka melepas hijabnya. Pengaruh public figure  sungguh sangat luar biasa. Hampir di segala urusan.
   “Pernyataanmu benar, Sumi. Tapi tidak berimbang.” Aku mencoba memberi pengertian kepadanya.
  “Ada berapa orang yang melepas hijabnya.., tapi sebaliknya kau tak pernah menghitung. Berapa ribu orang yang beramai-ramai berhijrah ke hijab.” Kulihat ia diam. “Yang bercadar pun, juga makin banyak.”
    “Itu kenyataan…, Sumi,” lanjutku. Kulihat Sumi masih diam.
   “Tak seharusnya kau lepas hijab dan cadarmu.., disaat ribuan orang beralih ke hijab dan cadar.” Kulihat Sumi masih tetap diam.
    Matahari hampir separo siang. Udara ruang perpustakaan kian terasa panas. Beberapa mesin pendingin sepertinya tak mampu mengusir kegerahan ini. Suara adzan merayap-rayap dari ruang mushola di lantai bawah perpustakaan. Aku dan Sumi segera bergegas memenuhi panggilanNya. Ya, Robb. Tunggu kami di rumahMu.
       Selepas salat dzuhur Aku dan Sumi masih di mushola. Sementara, beberapa teman kutu buku dan para karyawan perpustakaan mulai meninggalkan tempat salat ini. Mereka kembali ke ruang aktifitas masing-masing. Sebagian ada yang ke kantin perpustakaan sekedar untuk mendamaikan perutnya yang kian bergolak.
     “Sumi…, kau ingat dua tahun lalu. Ketika itu.. masa orientasi.” Aku mengajak Sumi untuk terbang mengelana ke masa lalu. Terbang melalui langit-langit mushola. Ke masa-masa di saat awal pertemuanku dengannya. Saat aku dan Sumi dilanda jatuh cinta.
        “Iya Kak! Sumi tahu itu,” jawabnya pendek.
      “Kau telah mencuri hatiku melalui dua hal.” Aku coba mengingatkan Sumi. Kulihat ia menatapku sambil melipat-lipat mukena yang baru saja ia lepaskan dari tubuhnya.
    “Pertama, karena hijab dan cadarmu. Kau begitu konsisten dengan pakaianmu itu. Untuk melindungi perilakumu. Menjaga akhlaqmu.”
         “Kedua, karena keteguhanmu pada panggilan Robbmu. Begitu adzan berkumandang, segera kau tinggalkan segala urusanmu untuk panggilanNya. Tak peduli suara itu indah atau tidak. Tak peduli suara itu merdu atau tidak.” Kulihat mata bidadari kecil itu tampak berkaca-kaca. Ia hanya mengangguk-angguk pelan.
        “Dua hal itulah yang membuat cintaku tumbuh di hatimu.., Sumi,”
        “Iya.., Kakak!” Hanya itu yang diucapkannya. Sepertinya Sumi tak mampu berkata-kata. Kelu di lidahnya.
       “Karena itu. Jangan kau lepas hijabmu. Mari kita jaga cinta kita. Kita pelihara cinta kita. Kita raih ridhoNya.”
      Sumi hanya manggut-manggut. Kali ini butir-butir air matanya mulai luruh satu-satu. Ia menangis sesenggukan. Sepertinya ia menyesal terhadap apa yang ia inginkan. Melepas hijab dan cadarnya.  Sepertinya ia khilaf terhadap Robb nya.
       “Sumi…., pikirkan kembali niatmu melepas hijab dan cadarmu. Itu pintaku.”
      Sejenak kami berdua terdiam. Di tengah tangisnya yang mulai reda, kudengar Sumi bicara, “ Iya.., Kakak. Sumi mengikutimu.”
        Puji syukur kehadhiratMu, Ya Robb kami. Lindungi dan jagalah kami. Kuatkan ikatan tali kasih sayang diantara kami.  Peliharalah dari tipu daya musuh-musuh kami. Atau dari orang-orang yang suka membentur-benturkan kami.
      Sumi…, dengarkan cuitan hati ini. Cadar bukanlah penyakit hati. Cadar juga bukan penyakit sosial. Cadar juga bukan destroyer bagi peradaban dan kebudayaan. Bukan pula destroyer moral. Cadar bukan musibah bagi bangsa. Ia juga bukan aib bangsa. Maka jangan engkau lemparkan. Jangan kau buang. Dan jangan kau hanyutkan di deru ombak. Jangan pula kau hempaskan di atas angin. Biarkan ia memelihara sendiri budinya. Memelihara jati dirinya.
       Cadarmu menutupi bibirmu bukan karena sumbing. Cadarmu mengajakmu untuk menjaga dan memelihara lisanmu. Jauh dari kata fitnah. Jauh dari kata menghasut. Jauh dari kata mencela. Jauh dari kata dusta. Jauh dari ungkapan bangsat. Jauh dari kata goblok,  atau jauh dari kata mingkem. Tapi juga jauh dari kata bajingan. Demikian yang terunggah di video blog seseorang. Ungkapan-ungkapan buruk itu sekarang telah menjadi viral di media sosial. Ia telah meracuni anak-anak bangsa. Anak-anak negeri ini.
       Hijabmu menutpi tubuhmu. Kau tutupi lehermu bukan karena tak punya kalung. Kau tutupi tangan dan lenganmu bukan karena tak punya gelang. Dan kau tutupi telingamu bukan karena tak punya anting.
          Kau tutup lehermu. Kau jaga dan kau pelihara agar tak panjang. Kau tutup lenganmu. Dan kau tutup tanganmu.  Kau jaga dan kau pelihara, juga agar tak panjang. Dan kau tutup telingamu. Kau jaga dan kau pelihara dari suara dengki. Dari suara hasad. Juga dari suara-suara kebencian.
       Suara adzan bukanlah kunci-kunci gitar. Suara adzan bukan pula alunan kendang reog Ponorogo. Dan suara adzan. Juga bukan denting piano. Maka jangan kau cari indahnya. Bisa jadi akalmu yang masih pendek. Bisa jadi kau tak akan pernah mampu menelusuri lekuk-lekuk keindahannya.
      Adzan adalah kalam. Ia menghubungkan manusia dengan Robb. Bukan manusia dengan manusia. Maka jangan kau membencinya. Cintailah. Damai itu indah.
(By Kangka Die)


PENJARA, DAHULU DAN SEKARANG

           Hari ini hari Minggu. Aku ada janjian sama seorang teman. Namanya Andre. Andre Manasuka. Kami berjanji untuk membesuk seseor...