Dengan asumsi tidak ada peresapan,
tidak ada run off, tidak ada
penguapan dengan cara apapun maka dalam satu tahun Gunungkidul akan diselimuti
air setebal 2,25 meter. Atau akan tertimbun air dengan volume sebesar 3342 juta meter kubik dengan bobot setara 3342 juta ton. Ini bisa
dihitung melalui rata-rata curah hujan tahunan kurang lebih sebesar 2250 mm
dikalikan luas wilayah Gunungkidul 1485,36
km persegi. Luar biasa!
Yang jadi persoalan adalah kenyataan
bahwa setelah hujan selesai maka air hujan akan segera habis melalui beberapa
cara. Pertama, melalui run off yang merupakan bagian terbesar
kehilangan air. Run off ini ada dua jalur, melalui sungai permukaan dan melalui sungai
bawah tanah. Kedua melaui peresapan,
dan ketiga melalui penguapan. Dalam
pembahasan ini, kategori penguapan diabaikan.
Run
off dan peresapan merupakan dua hal yang saling bertolak belakang. Semakin
kecil peresapan akan semakin besar run
off demikian sebaliknya makin besar peresapan akan memperkecil run off. Aspek inilah yang harus
diperhatikan oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul sesuai dengan salah satu
misi pembangunannya, yaitu peningkatan pemanfaatan air sebagai sumber
kemakmuran. Sebuah realita bahwa faktor pembatas keberhasilan pembangunan di
Gunungkidul adalah keberadaan sumber daya air. Dengan mengelola sumber daya air
secara lebih arif dan progresif, akselerasi pembangunan di wilayah ini akan
lebih mudah tercapai.
Menurut
ramalan (penulis menyebut estimasi) pujangga besar Raja Joyoboyo bangsa kita akan menemui zaman kesengsaraan atau zaman kolobendu,
apabila tanda-tanda (fenomena) ini telah
banyak muncul secara kasat mata di seluruh wilayah. Tanda-tanda itu antara
lain; kali ilang kedunge, pasar ilang
kumandange, wong wadon ilang wirange, dan wong lanang ilang kawibawane.
Pada tulisan ini penulis membatasi pada fenomena kali ilang kedunge.
Kedung dalam pemahaman dan konsep
budaya Jawa merupakan kubangan atau cekungan besar pada badan sungai yang
berfungsi sebagai tampungan, sumber, atau mata air. Mengingat air sebagai sumber kehidupan,
dengan demikian, keberadaan kedung merupakan manifestasi dari kemakmuran
masyarakat di sekitarnya. Hal ini dapat
kita lihat kebelakang bahwa pada masa lalu, menyertai keberadaan kedung ini, di
sana ada budaya ekonomi, budaya ketahanan pangan, budaya sosial, budaya
pelestarian lingkungan hidup, bahkan budaya
kesetaraan gender yang pada masa kini banyak dibicarakan..
Budaya
ekonomi, di sekitar kedung, melalui usaha setrenan banyak ditanam aneka jenis tanaman pangan dan hortikultura
baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk keperluan dijual kepasar. Budaya ketahanan pangan, melalui usaha
setrenan yang telah disebutkan di muka, di sana ada diversifikasi pangan dan
gizi, di kedung juga ada usaha perikanan meskipun secara liar (dalam konteks
kekinian bisa dikembangkan keramba apung), juga ada peternakan (kedung
digunakan untuk memandikan ternak). Budaya
sosial, di sana merupakan tempat mandi, cuci, bermain, dan bercengkerama
bersama sebagai sarana silaturahmi dan membangun kebersamaan serta
kegotong-royongan.
Budaya pelestarian lingkungan hidup, ketika kedung masih diagungkan
dan di ‘puja’, pada masa lalu banyak dilakukan upacara-upacara ritual yang
maksud dan tujuan utamanya adalah untuk melestarikan dan mensyukuri keberkahan
dari keberadaan kedung tersebut. Budaya
kesetaraan gender diwujudkan dalam budaya budidaya setrenan. Setrenan berasal dari kata setri (perempuan). Dengan demikian budaya budidaya setrenan merupakan manifestasi
kesetaraan gender dengan menempatkan harkat dan martabat perempuan untuk ikut
berperan serta dalam membangun budaya ketahanan pangan.
Akhirnya, untuk mewujudkan
kemakmuran Gunungkidul dengan basis air, sudah selayaknya diwujudkan dengan
aksi nyata membangun banyak kedung-kedung yang selama ini hilang. Kedung-kedung
tersebut dapat dibangun secara artificial
di sepanjang sungai-sungai yang memungkinkan. Di wilayah ini banyak
sungai-sungai yang masih mampu menahan
air meskipun musim kemarau.
Beberapa keuntungan bisa dipetik
dari keberadaan kedung-kedung artificial
ini. Antara lain ; akan memperluas
bidang peresapan air kedalam tanah sehingga akan memperbesar cadangan air
tanah. Kedua,
akan meningkatkan produksi pertanian. Ketiga,
akan meningkatkan usaha peternakan karena di sekitar kedung bisa dikembangkan
usaha hijauan pakan ternak. Keempat, dapat
berfungsi juga sebagai “dam” pengendali banjir, yang mana beberapa tahun
terakhir ini Kabupaten Gunungkidul sudah mulai akrab dengan bencana banjir. Tentu
masih banyak manfaat lain yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Gunungkidul. (By Sukadiyono, pernah dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, dengan
pengembangan materi).
Gb 1. Kali yang membelah Gunungkidul |
Gb 2. Tanaman Setrenan 1 |
Gb 3. Tanaman Setrenan 2 |
Gb 4. Tanaman Setrenan 3 |