Rabu, 04 April 2018

CINTA DI SELEMBAR CADAR DAN SUARA ADZAN


      Pagi ini. Perpustakaan kampus masih terlihat sepi. Ujian tengah semester baru saja usai. Mungkin sebagian  mahasiswa memilih pulang kampung. Atau sebagian yang lain lagi menjalani relaksasi dan terapi otak. Setelah sekian lama dililit berjuta-juta hukum aksioma dan matematika.
    Sementara itu, aku dan Sumi, memang berencana tidak mudik sedari awal ujian lalu. Kami memilih tetap setia di meja perpustakaan ini. Untuk sekedar mereview dan menghibur diri. Setelah beberapa hari kepala berdenyut-denyut. Diperas-peras. Dan diremas-remas berbagai rumus integral matematik yang kadang menjemukan.
     Seperti biasanya. Aku dan Sumi selalu memilih meja ini. Sejak awal ia menundukkan hatiku. Meja ini sepertinya telah menjadi saksi bisu. Cintaku kepada Sumi Sustiwi. Bidadari kecil berkerudung merah jambu. Bidadari dari lereng Gunung Sumbing.
     Dari lubang jendela perpustakan. Jauh di luar sana. Gunung Merapi tampak perkasa mengibas-ngibaskan asap putih mengkilap berlatar biru langit. Tampak anggun. Damai. Sepertinya sangat santun. Semoga ia tak akan marah seperti kemarin-kemarin. Walau galau melihat tingkah polah anak cucu Adam. Tingkah polah yang kian meracau. Di segala ruang hidup.
      “Kak…!” Tiba-tiba kudengar suara Sumi lirih, memanggilku.
      “Iya…,” Jawabku pendek.
     “Kak…..!”  Kudengar Sumi mengulangi kata itu lagi. Kali ini aku pandangi wajahnya yang kian meneduh. Ia juga memandangiku. Aku melihat ada yang tersembunyi di balik pandangannya itu.
    “Iya.. ya…, kenapa?” Sepertinya Sumi ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting kepadaku.
         “Kak Bharoto suka.., kalau ada yang berubah pada diri Sumi?”
     Sejenak aku diam. Aku tak paham apa yang dimaksud Sumi. Sepertinya ia menyimpan kegalauan. Ada yang mengiris-iris jiwanya. Ada yang menyayat-nyayat di perasaannya. Aku tak ingin ia terjebak di dalamnya.  Aku coba mencari tahu. Aku ingin membantu memecahkannya. Aku ingin membantu menguatkan hatinya. Bidadari kecilku.
       Kemudian, ia melanjutkan, “Sumi ingin melepas hijab ini.. Kak!”
     Terkejut aku mendengarnya. Tak pernah sedikitpun aku berprasangka Sumi akan melakukan hal itu. Melepas hijabnya. Selama ini. Sejak aku dekat dengan hatinya. Ia adalah seorang gadis, bidadari kecil, yang sangat teguh memegang prinsip. Aku harus menjaganya. Aku harus mengendapkan kegalauannya.
      “Kenapa…, Sumi?” Seraya aku tatap tajam wajahnya. Kali ini ia menunduk.
   “Ada yang memandang buruk cadarku.. Kak,” jawabnya, sedikit mengeluh. “Ada juga yang mencibirkannya,” lanjutnya.
      “Maksudmu.., siapa?” tanyaku heran.
      “Ya.., banyak.. diluar sana”.
      “Itu cupa perasaannmu…, Sumi.”
     “Tapi…, saat ini, banyak orang  yang melepas hijabnya.”
   Demikian Sumi menjelaskan. Seraya memberikan beberapa contoh figur-figur  yang ramai dibicarakan di banyak media. Termasuk di media sosial.  Dengan berbagai alasan dan latar belakang hingga mereka melepas hijabnya. Pengaruh public figure  sungguh sangat luar biasa. Hampir di segala urusan.
   “Pernyataanmu benar, Sumi. Tapi tidak berimbang.” Aku mencoba memberi pengertian kepadanya.
  “Ada berapa orang yang melepas hijabnya.., tapi sebaliknya kau tak pernah menghitung. Berapa ribu orang yang beramai-ramai berhijrah ke hijab.” Kulihat ia diam. “Yang bercadar pun, juga makin banyak.”
    “Itu kenyataan…, Sumi,” lanjutku. Kulihat Sumi masih diam.
   “Tak seharusnya kau lepas hijab dan cadarmu.., disaat ribuan orang beralih ke hijab dan cadar.” Kulihat Sumi masih tetap diam.
    Matahari hampir separo siang. Udara ruang perpustakaan kian terasa panas. Beberapa mesin pendingin sepertinya tak mampu mengusir kegerahan ini. Suara adzan merayap-rayap dari ruang mushola di lantai bawah perpustakaan. Aku dan Sumi segera bergegas memenuhi panggilanNya. Ya, Robb. Tunggu kami di rumahMu.
       Selepas salat dzuhur Aku dan Sumi masih di mushola. Sementara, beberapa teman kutu buku dan para karyawan perpustakaan mulai meninggalkan tempat salat ini. Mereka kembali ke ruang aktifitas masing-masing. Sebagian ada yang ke kantin perpustakaan sekedar untuk mendamaikan perutnya yang kian bergolak.
     “Sumi…, kau ingat dua tahun lalu. Ketika itu.. masa orientasi.” Aku mengajak Sumi untuk terbang mengelana ke masa lalu. Terbang melalui langit-langit mushola. Ke masa-masa di saat awal pertemuanku dengannya. Saat aku dan Sumi dilanda jatuh cinta.
        “Iya Kak! Sumi tahu itu,” jawabnya pendek.
      “Kau telah mencuri hatiku melalui dua hal.” Aku coba mengingatkan Sumi. Kulihat ia menatapku sambil melipat-lipat mukena yang baru saja ia lepaskan dari tubuhnya.
    “Pertama, karena hijab dan cadarmu. Kau begitu konsisten dengan pakaianmu itu. Untuk melindungi perilakumu. Menjaga akhlaqmu.”
         “Kedua, karena keteguhanmu pada panggilan Robbmu. Begitu adzan berkumandang, segera kau tinggalkan segala urusanmu untuk panggilanNya. Tak peduli suara itu indah atau tidak. Tak peduli suara itu merdu atau tidak.” Kulihat mata bidadari kecil itu tampak berkaca-kaca. Ia hanya mengangguk-angguk pelan.
        “Dua hal itulah yang membuat cintaku tumbuh di hatimu.., Sumi,”
        “Iya.., Kakak!” Hanya itu yang diucapkannya. Sepertinya Sumi tak mampu berkata-kata. Kelu di lidahnya.
       “Karena itu. Jangan kau lepas hijabmu. Mari kita jaga cinta kita. Kita pelihara cinta kita. Kita raih ridhoNya.”
      Sumi hanya manggut-manggut. Kali ini butir-butir air matanya mulai luruh satu-satu. Ia menangis sesenggukan. Sepertinya ia menyesal terhadap apa yang ia inginkan. Melepas hijab dan cadarnya.  Sepertinya ia khilaf terhadap Robb nya.
       “Sumi…., pikirkan kembali niatmu melepas hijab dan cadarmu. Itu pintaku.”
      Sejenak kami berdua terdiam. Di tengah tangisnya yang mulai reda, kudengar Sumi bicara, “ Iya.., Kakak. Sumi mengikutimu.”
        Puji syukur kehadhiratMu, Ya Robb kami. Lindungi dan jagalah kami. Kuatkan ikatan tali kasih sayang diantara kami.  Peliharalah dari tipu daya musuh-musuh kami. Atau dari orang-orang yang suka membentur-benturkan kami.
      Sumi…, dengarkan cuitan hati ini. Cadar bukanlah penyakit hati. Cadar juga bukan penyakit sosial. Cadar juga bukan destroyer bagi peradaban dan kebudayaan. Bukan pula destroyer moral. Cadar bukan musibah bagi bangsa. Ia juga bukan aib bangsa. Maka jangan engkau lemparkan. Jangan kau buang. Dan jangan kau hanyutkan di deru ombak. Jangan pula kau hempaskan di atas angin. Biarkan ia memelihara sendiri budinya. Memelihara jati dirinya.
       Cadarmu menutupi bibirmu bukan karena sumbing. Cadarmu mengajakmu untuk menjaga dan memelihara lisanmu. Jauh dari kata fitnah. Jauh dari kata menghasut. Jauh dari kata mencela. Jauh dari kata dusta. Jauh dari ungkapan bangsat. Jauh dari kata goblok,  atau jauh dari kata mingkem. Tapi juga jauh dari kata bajingan. Demikian yang terunggah di video blog seseorang. Ungkapan-ungkapan buruk itu sekarang telah menjadi viral di media sosial. Ia telah meracuni anak-anak bangsa. Anak-anak negeri ini.
       Hijabmu menutpi tubuhmu. Kau tutupi lehermu bukan karena tak punya kalung. Kau tutupi tangan dan lenganmu bukan karena tak punya gelang. Dan kau tutupi telingamu bukan karena tak punya anting.
          Kau tutup lehermu. Kau jaga dan kau pelihara agar tak panjang. Kau tutup lenganmu. Dan kau tutup tanganmu.  Kau jaga dan kau pelihara, juga agar tak panjang. Dan kau tutup telingamu. Kau jaga dan kau pelihara dari suara dengki. Dari suara hasad. Juga dari suara-suara kebencian.
       Suara adzan bukanlah kunci-kunci gitar. Suara adzan bukan pula alunan kendang reog Ponorogo. Dan suara adzan. Juga bukan denting piano. Maka jangan kau cari indahnya. Bisa jadi akalmu yang masih pendek. Bisa jadi kau tak akan pernah mampu menelusuri lekuk-lekuk keindahannya.
      Adzan adalah kalam. Ia menghubungkan manusia dengan Robb. Bukan manusia dengan manusia. Maka jangan kau membencinya. Cintailah. Damai itu indah.
(By Kangka Die)


PENJARA, DAHULU DAN SEKARANG

           Hari ini hari Minggu. Aku ada janjian sama seorang teman. Namanya Andre. Andre Manasuka. Kami berjanji untuk membesuk seseor...