Pagi ini. Perpustakaan kampus masih terlihat sepi. Ujian tengah
semester baru saja usai. Mungkin sebagian
mahasiswa memilih pulang kampung. Atau sebagian yang lain lagi menjalani
relaksasi dan terapi otak. Setelah sekian lama dililit berjuta-juta hukum
aksioma dan matematika.
Sementara itu, aku dan Sumi, memang berencana tidak mudik sedari
awal ujian lalu. Kami memilih tetap setia di meja perpustakaan ini. Untuk
sekedar mereview dan menghibur diri.
Setelah beberapa hari kepala berdenyut-denyut. Diperas-peras. Dan diremas-remas
berbagai rumus integral matematik yang kadang menjemukan.
Seperti
biasanya. Aku dan Sumi selalu memilih meja ini. Sejak awal ia menundukkan hatiku.
Meja ini sepertinya telah menjadi saksi bisu. Cintaku kepada Sumi Sustiwi.
Bidadari kecil berkerudung merah jambu. Bidadari dari lereng Gunung Sumbing.
Dari
lubang jendela perpustakan. Jauh di luar sana. Gunung Merapi tampak perkasa mengibas-ngibaskan
asap putih mengkilap berlatar biru langit. Tampak anggun. Damai. Sepertinya
sangat santun. Semoga ia tak akan marah seperti kemarin-kemarin. Walau galau melihat
tingkah polah anak cucu Adam. Tingkah polah yang kian meracau. Di segala ruang
hidup.
“Kak…!”
Tiba-tiba kudengar suara Sumi lirih, memanggilku.
“Iya…,”
Jawabku pendek.
“Kak…..!” Kudengar Sumi mengulangi kata itu lagi. Kali
ini aku pandangi wajahnya yang kian meneduh. Ia juga memandangiku. Aku melihat
ada yang tersembunyi di balik pandangannya itu.
“Iya.. ya…, kenapa?” Sepertinya Sumi ingin
menyampaikan sesuatu yang sangat penting kepadaku.
“Kak
Bharoto suka.., kalau ada yang berubah pada diri Sumi?”
Sejenak
aku diam. Aku tak paham apa yang dimaksud Sumi. Sepertinya ia menyimpan
kegalauan. Ada yang mengiris-iris jiwanya. Ada yang menyayat-nyayat di perasaannya.
Aku tak ingin ia terjebak di dalamnya.
Aku coba mencari tahu. Aku ingin membantu memecahkannya. Aku ingin
membantu menguatkan hatinya. Bidadari kecilku.
Kemudian, ia melanjutkan, “Sumi ingin melepas hijab ini.. Kak!”
Terkejut
aku mendengarnya. Tak pernah sedikitpun aku berprasangka Sumi akan melakukan hal
itu. Melepas hijabnya. Selama ini. Sejak aku dekat dengan hatinya. Ia adalah
seorang gadis, bidadari kecil, yang sangat teguh memegang prinsip. Aku harus
menjaganya. Aku harus mengendapkan kegalauannya.
“Kenapa…, Sumi?” Seraya aku tatap tajam
wajahnya. Kali ini ia menunduk.
“Ada yang memandang buruk cadarku.. Kak,”
jawabnya, sedikit mengeluh. “Ada juga yang mencibirkannya,” lanjutnya.
“Maksudmu..,
siapa?” tanyaku heran.
“Ya.., banyak.. diluar sana”.
“Itu
cupa perasaannmu…, Sumi.”
“Tapi…,
saat ini, banyak orang yang melepas
hijabnya.”
Demikian
Sumi menjelaskan. Seraya memberikan beberapa contoh figur-figur yang ramai
dibicarakan di banyak media. Termasuk di media sosial. Dengan berbagai alasan dan latar belakang
hingga mereka melepas hijabnya. Pengaruh public
figure sungguh sangat luar biasa. Hampir
di segala urusan.
“Pernyataanmu benar, Sumi. Tapi tidak
berimbang.” Aku mencoba memberi pengertian kepadanya.
“Ada
berapa orang yang melepas hijabnya.., tapi sebaliknya kau tak pernah menghitung.
Berapa ribu orang yang beramai-ramai berhijrah ke hijab.” Kulihat ia diam.
“Yang bercadar pun, juga makin banyak.”
“Itu
kenyataan…, Sumi,” lanjutku. Kulihat Sumi masih diam.
“Tak seharusnya kau lepas hijab dan cadarmu.., disaat ribuan orang
beralih ke hijab dan cadar.” Kulihat Sumi masih tetap diam.
Matahari
hampir separo siang. Udara ruang perpustakaan kian terasa panas. Beberapa mesin
pendingin sepertinya tak mampu mengusir kegerahan ini. Suara adzan
merayap-rayap dari ruang mushola di lantai bawah perpustakaan. Aku dan Sumi
segera bergegas memenuhi panggilanNya. Ya,
Robb. Tunggu kami di rumahMu.
Selepas salat dzuhur Aku dan Sumi masih di mushola. Sementara, beberapa teman
kutu buku dan para karyawan perpustakaan mulai meninggalkan tempat salat ini.
Mereka kembali ke ruang aktifitas masing-masing. Sebagian ada yang ke kantin
perpustakaan sekedar untuk mendamaikan perutnya yang kian bergolak.
“Sumi…, kau ingat dua tahun lalu. Ketika itu.. masa orientasi.” Aku
mengajak Sumi untuk terbang mengelana ke masa lalu. Terbang melalui
langit-langit mushola. Ke masa-masa di saat awal pertemuanku dengannya. Saat
aku dan Sumi dilanda jatuh cinta.
“Iya
Kak! Sumi tahu itu,” jawabnya pendek.
“Kau telah mencuri hatiku melalui dua hal.” Aku coba mengingatkan Sumi.
Kulihat ia menatapku sambil melipat-lipat mukena yang baru saja ia lepaskan
dari tubuhnya.
“Pertama,
karena hijab dan cadarmu. Kau begitu konsisten dengan pakaianmu itu. Untuk
melindungi perilakumu. Menjaga akhlaqmu.”
“Kedua,
karena keteguhanmu pada panggilan Robbmu.
Begitu adzan berkumandang, segera kau tinggalkan segala urusanmu untuk
panggilanNya. Tak peduli suara itu indah atau tidak. Tak peduli suara itu merdu
atau tidak.” Kulihat mata bidadari kecil itu tampak berkaca-kaca. Ia hanya
mengangguk-angguk pelan.
“Dua
hal itulah yang membuat cintaku tumbuh di hatimu.., Sumi,”
“Iya..,
Kakak!” Hanya itu yang diucapkannya. Sepertinya Sumi tak mampu berkata-kata.
Kelu di lidahnya.
“Karena
itu. Jangan kau lepas hijabmu. Mari kita jaga cinta kita. Kita pelihara cinta
kita. Kita raih ridhoNya.”
Sumi
hanya manggut-manggut. Kali ini butir-butir air matanya mulai luruh satu-satu.
Ia menangis sesenggukan. Sepertinya ia menyesal terhadap apa yang ia inginkan.
Melepas hijab dan cadarnya. Sepertinya
ia khilaf terhadap Robb nya.
“Sumi….,
pikirkan kembali niatmu melepas hijab dan cadarmu. Itu pintaku.”
Sejenak
kami berdua terdiam. Di tengah tangisnya yang mulai reda, kudengar Sumi bicara,
“ Iya.., Kakak. Sumi mengikutimu.”
Puji syukur kehadhiratMu, Ya Robb
kami. Lindungi dan jagalah kami. Kuatkan ikatan tali kasih sayang diantara
kami. Peliharalah dari tipu daya musuh-musuh
kami. Atau dari orang-orang yang suka membentur-benturkan kami.
Sumi…,
dengarkan cuitan hati ini. Cadar bukanlah penyakit hati. Cadar juga bukan
penyakit sosial. Cadar juga bukan destroyer
bagi peradaban dan kebudayaan. Bukan pula destroyer moral. Cadar bukan musibah bagi
bangsa. Ia juga bukan aib bangsa. Maka jangan engkau lemparkan. Jangan kau
buang. Dan jangan kau hanyutkan di deru ombak. Jangan pula kau hempaskan di
atas angin. Biarkan ia memelihara sendiri budinya.
Memelihara jati dirinya.
Cadarmu
menutupi bibirmu bukan karena sumbing. Cadarmu mengajakmu untuk menjaga dan memelihara
lisanmu. Jauh dari kata fitnah. Jauh dari kata menghasut. Jauh dari kata mencela.
Jauh dari kata dusta. Jauh dari ungkapan bangsat.
Jauh dari kata goblok, atau jauh dari kata mingkem. Tapi juga jauh dari kata bajingan. Demikian yang terunggah di video blog
seseorang. Ungkapan-ungkapan buruk itu sekarang telah menjadi viral di media
sosial. Ia telah meracuni anak-anak bangsa. Anak-anak negeri ini.
Hijabmu menutpi tubuhmu. Kau tutupi lehermu
bukan karena tak punya kalung. Kau tutupi tangan dan lenganmu bukan karena tak
punya gelang. Dan kau tutupi telingamu bukan karena tak punya anting.
Kau
tutup lehermu. Kau jaga dan kau pelihara agar tak panjang. Kau tutup lenganmu.
Dan kau tutup tanganmu. Kau jaga dan kau
pelihara, juga agar tak panjang. Dan kau tutup telingamu. Kau jaga dan kau
pelihara dari suara dengki. Dari suara hasad. Juga dari suara-suara kebencian.
Suara
adzan bukanlah kunci-kunci gitar. Suara adzan bukan pula
alunan kendang reog Ponorogo. Dan suara adzan. Juga bukan denting piano. Maka jangan
kau cari indahnya. Bisa jadi akalmu yang masih pendek. Bisa jadi kau tak akan pernah
mampu menelusuri lekuk-lekuk keindahannya.
Adzan
adalah kalam. Ia menghubungkan manusia dengan Robb. Bukan manusia dengan manusia. Maka jangan kau membencinya.
Cintailah. Damai itu indah.
(By Kangka Die)
(By Kangka Die)